Judul
Buku : Lalita
Penulis
: Ayu Utami
Tahun
Terbit : 2012
Penerbit:Gramedia
Jumlah
Halaman: 251
Lalita
Vistara, pemilik sebuah galeri, adalah perempuan setengah baya yang memesona.
Ia berhasil menyembunyikan bercak dan kerut penuaan di balik kosmetika berat
yang digunakannya setiap hari. Lalita percaya pada reinkarnasi dan yakin kalau
dirinya terlahir kembali setiap sekitar
lima abad. Pertama, ia terlahir sebagai
perempuan yang mempelajari Budhisme di Sriwijaya-Nepal pada abad ke-5. Kedua,
menjelang abad ke-10, ia terlahir sebagai seorang putri dari wangsa Syailendra
yang terlibat dalam pembangunan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Ketiga, pada
abad ke-15, ia menjadi putri Pangeran Vlad Dracula di Transylvania. Dan pada
abad ke-20, ia terlahir di Indonesia dengan nama Ambika Putri Nataprawira
sebelum menggantinya dengan Lalita Vistara -dari Lalitavistara, biografi
Siddharta Gautama yang adalah relief di candi Borobudur. Lalita abad ke-20
adalah cucu Anshel Eibenschutz, seorang lelaki Austria yang mengalami moksa di
candi Borobudur.
Lalita
memiliki sebuah rencana terkait apa yang telah ditemukan kakeknya, sejak di
Wina, Austria, hingga candi Borobudur di Jawa Tengah. Anschel Eibenschutz,
lelaki berkepala miring dengan sikap kaku dan telapak kaki yang mengarah ke
depan itu telah mendalami berbagai ilmu. Tanpa memberitahukan kepada dunia,
Anschel telah menemukan hal-hal seperti memori nirsadar kolektif dan arketipe
sebelum Carl Gustav Jung, kimatologi sebelum Hans Jenny, dan bahwa manusia
mempunyai aura. Di Jawa Tengah, Anshel menemukan bahwa candi Boroubudur dengan
tiga tingkatan dunianya -kamadatu, rupadatu, dan arupadatu- memberi satu model
peta jiwa yang dicari oleh para psikonalis. Selain itu, ia telah menemukan
gelombang tak terdeteksi yang menciptakan mandala Borobudur, apa yang telah
menjadi obsesi Lalita Vistara, cucunya.
Tapi
keinginan Lalita agar kakeknya diakui dunia bukanlah usaha yang gampang. Karena
ada pihak yang tergiur pada iming-iming banyak uang untuk sejilid kertas yang
ditinggalkan Anshel pada cucu perempuannya. Lalita mencoba mempertahan dan
terus menggeluti peninggalan kakeknya, bahkan mencoba memindahkannya ke dalam
bukunya sendiri. Akibatnya ia mesti menerima penghinaan dalam bentuk
pemerkosaan dan penghapusan kosmetika yang menyembunyikan kerut dan bercak
penuaannya dalam sebuah perampokan di rumahnya. Kemudian, setelah itu, ia
meninggalkan rumahnya, galerinya, pekerjaannya, dan Jakarta, lantas menghilang
tak tentu rimbanya.
Bagi
Sandi Yuda, Lalita adalah Perempuan Indigo, perempuan yang memiliki kemampuan
membawanya ke dalam petualangan seks yang baru. Dengan pesonanya, Lalita yang
menyukai lelaki muda, berhasil menghalau
Marja dari pikiran Yuda dan memenangkan tubuh Yuda. Ia menuntun Yuda mencapai
apa yang ia sebut axis mundi, sebuah poros dunia, yang adalah celah kecil
lembut di antara tonjolan leher rahim dan dinding terdalam vaginanya. Yuda
berhasil mencapai poros dunia kecil itu dalam sensasi serupa tutup sampanye
yang disumbatkan di leher botol. Setelah pengalaman persetubuhan yang disebut
Yuda sebagai dialog seks yang utuh itu, berulang terjadi pencapaian axis mundi
yang membuat Yuda tergila-gila. Saat ia mencoba mencapainya dalam persetubuhan
dengan Marja, ia gagal dan Marja justru menganggapnya seperti robot. Sampai
novel berakhir, Yuda tidak bisa melupakan perempuan itu.
Gara-gara
pencapaian axis mundi yang berulang itu, hubungan Yuda dengan Marja, juga
dengan Parang Jati, tergantung di ujung tanduk. Parang Jati marah, sebab ia
sendiri telah menahan-nahan hasrat untuk menyetubuhi Marja. Demikian pula Marja
yang seperti Parang Jati nyaris tak mampu menahan gairah pria dengan jari tangan
sejumlah dua belas itu. Namun, karena Seri Bilangan Fu masih akan berlanjut
dengan ketiga karakter ini, penulis memutuskan merahibilitasi hubungan mereka
sambil tetap menyimpan gairah Marja dan Parang Jati serupa api dalam sekam.
"Kalau
aku mencintai seseorang, aku mau melekat, aku mau mencintainya tanpa
jarak," kata Marja kepada Parang Jati. "Aku mau... tidak takut untuk
menderita." (hlm. 197). Prinsip inilah yang membukakan jalan pengampunan
Marja bagi Yuda.
Sebenarnya
Lalita karya Ayu Utami adalah sebuah novel yang tidak cukup istimewa. Isinya
hanyalah perselingkuhan dan misteri yang menyelubungi kehidupan seorang
cendekiawan dengan semua penemuannya. Masih terdapat hal-hal yang menimbulkan
pertanyaan. Masa lalu Lalita -apalagi jika benar dirinya perempuan yang
diindikasikan Janaka terlibat dalam kematian empat pria asing- dan hubungannya
dengan saudara laki-lakinya tidak terjelaskan secara memadai. Dampaknya, kisah
mereka di masa kini kurang bisa diterima sepenuhnya. Ayu, tampaknya, telah
melakukan sejumlah riset untuk mendapatkan berbagai informasi yang ia paparkan
dalam novel ini dan berhasil menghidangkan dengan cara berkisahnya yang khas.
Ia, boleh dikata, mampu membangun kisah dengan konflik dan misteri dengan baik
sehingga pembaca akan tetap melanjutkan pembacaan. Sayangnya, setelah berbagai
informasi -yang akhirnya menjadi terkesan dilekatkan begitu saja ke dalam
novel- kisahnya terasa kandas. Penyelesaian terlampau gampang dan terburu-buru,
dengan motivasi kriminal seputar Buku Indigo yang tidak terlalu mendebarkan
pula.
Dibagi
ke dalam tiga bagian yaitu Indigo, Hitam, dan Merah, tanpa tedeng aling-aling
Ayu menyatakan bahwa buku ini ditulis dengan sebuah pola konsentris,
sebagaimana Buku Indigo versi Lalita Vistara. Kira-kira seperti penjelasan Ayu
berikut, yang kalau tidak bisa Anda pahami, tidak apa-apa, lewatkan saja.
"Ini
perjalanan dari kehidupan sehari-hari yang riuh, masuk ke wilayah dalam yang
semakin tenang, dunia lain yang lebih luas, atau melihat struktur jiwamu.
Kepada memori kolektif bawah sadar. Perjalanan yang belum tentu menyenangkan
seleramu. Setelah itu orang kembali ke dalam hidup sehari-hari dengan membawa
pengertian yang diambilnya dari alam mimpi. Jika kita tidak menyadari apapun
dari alam itu, maka itu berarti kau kini berjalan mundur." (hlm. 155).
Lalita
adalah buku kedua dari Seri Bilangan Fu setelah pendahulunya, Manjali dan
Cakrabirawa. Penulis, tentu saja, bisa
menyinggung-nyinggung apa yang terjadi pada buku pertama karena buku ini
merupakan lanjutannya. Tapi tidak perlu sampai menulis kalimat seperti ini:
"Dan
aneh sekali, seperti cerita terdahulu, tepat pada akhir bab tujuh dari
belakang, dialog itu terjadi lagi. Nyaris persis; hanya dengan sedikit
pengurangan dan penambahan." (hlm. 205). Ayu, dengan kalimat 'tepat pada akhir bab tujuh dari belakang'
sudah pasti merujuk pada percakapan Marja dan Parang Jati dalam bab 32 Manjali
dan Cakrabirawa.
Sebagian
pembaca mungkin akan terkagum-kagum dengan berbagai informasi yang dijejalkan
Ayu dalam novel ini, terutama pada bagian kedua, Hitam. Tapi sebagian mungkin
merasa sesak dan mengalami kesulitan, apalagi ketika dipaksa memahami berbagai
pemikiran Anshel Eibenschutz. Tidak heran kalau muncul kecurigaan hal ini
dilakukan sekadar untuk membuat novelnya terkesan berbobot dan tidak semua
orang bisa membacanya. Sangat disayangkan jika hanya Ayu yang benar-benar paham
dengan apa yang sebenarnya ia ingin dipahami pembaca bukunya.
Omong-omong,
saya suka ilustrasi sampul Lalita yang langsung mengingatkan saya pada
gambar-gambar dalam buku botani. Ternyata, ilustrasi yang dikerjakan sendiri
Ayu Utami ini memang dibuat untuk mengenang dan menghormati para pelukis
botani, yaitu Amir Hamzah dan Mohamad Toha. Walaupun, tetap saja, buah bergetah
dengan lapisan dalam berwarna merah di tengah-tengah itu mengingatkan pada
ilustrasi sampul Bilangan Fu, yang juga dikerjakan sendiri oleh Ayu Utami.
Berhasil
atau tidak Lalita di mata para pembaca, Ayu Utami tetap memikat dengan cara
berkisah menggunakan kalimat-kalimat matang dan pemilihan diksi yang mumpuni.
Ebook
Disini: