Judul Buku :Derai Sunyi
Penulis : Asma Nadia
Penerbit : Mizan
Tahun Terbit : 2004
Jumlah Halaman : 240
Meskipun sunyi itu keheningan pekat. Kosong,
tanpa suara. Tapi, kerinduan atas orang-orang terkasih adalah sunyi yang
gemerisik pada helai daun, tanah dan udara. Diilhami dari kisah nyata
penganiayaan PRT di Surabaya.
Sri Ayuni merupakan tokoh utama di kisah ini.
Begitu kejam dan menyayat hati nurani. Saat itu saya berprediksi, novel ini
hanya tinggal waktu, pasti akan diangkat ke layar lebar. Kini 12 tahun
berselang, justru novel-novel yang tak jelas lokal yang berlomba diadaptasi.
Buku sebagus ini bahkan seakan tak ditengok sekedar isu untuk digambarkan di
bioskop. Yah, masa depan siapa yang tahu?
Kisahnya perih, kasih sayang seorang ibu kepada
anaknya yang tak terbatas. Sebelum dimulaipun kita sudah tahu akhir nasib Sri.
Kenapa? Karena di bagian pembuka sudah diberitahukan bahwa ini berdasar kisah
nyata penganiayaan Pembantu Rumah Tangga (PRT), dan seperti yang sudah sering
kita lihat di berita-berita yang menghiasai istirahat siang. Pilu.
Berisi lima bagian yang dipecah dalam sub-bab
kita disuguhi sebuah kisah panjang tentang seorang remaja putri yang punya
mimpi namun kandas di kerasnya hidup. Kisah dibuka dengan kepedihan rindu ibu
kerhadap anak bungsunya yang pergi merantau tapi tak kunjung kembali, bukan.
Tak ada kabar lebih tepatnya. Dengan air mata menetes ia meraih Al Quran,
memulai hari dalam tanya pada diri sendiri. Ia ingin melihat kebenaran walau
itu pahit. Kapan? Kapan bidadarinya kembali? Gusti Pengasih, kapan? Ia tahu tak
baik memburu-buru Tuhan. Makhluk-Nya yang meminta bukan cuma dia. Miris, air
matanya kembali menetes.
Lalu kisah kembali ditarik dari depan. Sri Ayuni adalah si ragil dari tiga bersaudara. Ayah dan sulung Mas Tarjo meninggal dalam kecelakaan, angkot mereka diseruduk kereta. Meninggalkan ibu, Sri dan Ning. Mereka memang dari keluarga sederhana, mbak Ning tak sempat menamatkan SLTP namun pintar. Kegigihannya dalam belajar membuatnya tetap setaraf lulusan SMU — bahkan lebih. Sekolah tak hanya di bangku sekolah. Ia tak suka berdandan, membiarkan segala apa adanya. Bersama Sri mereka saling menopang menjalani hidup.
Lalu kisah kembali ditarik dari depan. Sri Ayuni adalah si ragil dari tiga bersaudara. Ayah dan sulung Mas Tarjo meninggal dalam kecelakaan, angkot mereka diseruduk kereta. Meninggalkan ibu, Sri dan Ning. Mereka memang dari keluarga sederhana, mbak Ning tak sempat menamatkan SLTP namun pintar. Kegigihannya dalam belajar membuatnya tetap setaraf lulusan SMU — bahkan lebih. Sekolah tak hanya di bangku sekolah. Ia tak suka berdandan, membiarkan segala apa adanya. Bersama Sri mereka saling menopang menjalani hidup.
Tekad Sri untuk membahagiakan ibu sudah bulat.
Penghasilan dari desa di pesisir pantai tak akan cukup untuk mereka. Mbak Ning
selalu bersikukuh agar bertahan. Ada banyak cara untuk menggapai mimpi bersama,
tak harus keluar kota. Jauh nan misteri. Namun, seperti di pembuka, “Ibu, Sri
pamit…” dari kota Tegal itulah Sri menantang ibu kota. Matahari terik mengiringi
kepergian mereka.
Bersama Mas Arik sepupunya, mereka naik kereta
api. Dalam perjalanan, Mas Arik bercerita bahwa calon majikannya mempunyai
rumah dengan tiga lantai dan tiga pembantu. “Barangkali satu tukang cuci dan
setrika, satu tukang masak dan satu tukang kebun. Dan kamu mungkin akan
melayani dua anaknya, atau untuk bantu beberes.” Fakta rumah dengan tiga
pembantu, belum lagi sopir dan satpam membuat Sri, gadis lugu ini takjub. Ia
akan berjuang demi ibu!
Harapan besar tu luluh bahkan hanya beberapa
menit setelah Mas Arik menyerahkan Sri kepada Nyonya Lili, majikan. Sri yang
berkerudung diminta melepasnya. Sri yang menjawab dengan anggukan dibentaknya,
“tak punya mulut?” Sri yang polos itu kini benar-benar menghadapi kerasnya
kehidupan. Di rumah itu ada Mak Iin yang dituakan. Ada Onah dan Wati yang
saling membahu dan nasibnya sama saja, kena omeh dan tampar menjadi rutinitas.
Penganiayaan di depan Sri membuat tekad untuk bertahan itu luruh. Pak Hendri
majikan pria terlampau sibuk sehingga tak tahu menahu. Kedua anaknya, Non dita
yang baru berusia 14 tahun sama kejamnya. Sedang Den Ivan yang baru TK lebih
mudah di-emong. Mungkin karena Sri yang bungsu, sehingga ketika melihat anak
kecil rasanya seperti memanja seorang adik.
Nah nyonyanya yang galak itu akhirnya memainkan
perannya. Jilbab Sri direnggut, ia dikucilkan di lantai atas tanpa diberi
makan. Dengan kain gorden ia yang terluka mencoba tetap menjalankan sholat.
Dengan air mata meniti ia ingat sama Mbak Ning dan ibu. Ingat harapan-harapan
sebelum datang ke Jakarta. Lapar dan letih, ia bersenandung lirih. Saat
membacanya saya ikut merinding, bayangkan suatu ketika di layar lebar diiringi
akustik yang menyayat. Sebuah drama kehidupan yang megah nan menusuk.
Amening zaman edan | ewuh aja ing pambudi | mule
edan ora tahan | jen tan melu anglakoni | boja kadumen melik keliren |
wekasanipun dilalah karsa Allah | begjane kang lali | luwih begja kang engling
lan waspada.
Penganiayaan demi penganiayaan yang dialami Sri
membuyarkan segala mimpinya. Ujung kisah ini memang bukan tanya nasib Sri di
rumah neraka. Setelah penderitaan itu, kita lalu diajak mengenalnya lebih jauh
dari masa lalu. Dan munculnya karaketr lain yang akan saling silang. Dengan
tema sama, kasih cinta kepada seorang ibu. Lalu setelah segala detail
yang sedu sedan kita diajak menelusuri tanya sang ibu dan perjuangan Ning
mencari jawab. Berhasilkah?
Endingnya sungguh membuat merinding. Sepi, sunyi dan penuh luka. Betapa para majikan yang suka menganiaya pembantu perlu kembali merenungkan arti sebuah kesabaran, arti berbagi dan hidup yang hanya sekelebat. Ketika kita merasa hopeless, kita harus selalu ingat ada Yang Maha Segalanya. Tak ada yang bisa mencegah segala keajaiban yang Dicipta. Cerita penuh pesan moral yang layak ditelaah lebih mendalam. Derai sunyi, sebuah kisah pilu pembantu. Profesi mulia yang dipandang sebelah mata ini berhasilkah mengusik para produser film kita? Kalau sampai 50 tahun lagi tak terwujud masuk bioskop, kebangetan sekali.
Endingnya sungguh membuat merinding. Sepi, sunyi dan penuh luka. Betapa para majikan yang suka menganiaya pembantu perlu kembali merenungkan arti sebuah kesabaran, arti berbagi dan hidup yang hanya sekelebat. Ketika kita merasa hopeless, kita harus selalu ingat ada Yang Maha Segalanya. Tak ada yang bisa mencegah segala keajaiban yang Dicipta. Cerita penuh pesan moral yang layak ditelaah lebih mendalam. Derai sunyi, sebuah kisah pilu pembantu. Profesi mulia yang dipandang sebelah mata ini berhasilkah mengusik para produser film kita? Kalau sampai 50 tahun lagi tak terwujud masuk bioskop, kebangetan sekali.
Ebook Klik Disini: